Bagaimana Pembuktian Hak Atas Tanah Hibah Secara Lisan? Ini Kata Pengacara Herry Battileo

Advokat kondang Herry FF Battileo, S.H.,M.H., saat ditemui awak media. (Foto : Ferdi Tanesib)


LIPUTAN TIMOR, KOTA KUPANG - Sengketa hak atas tanah di Nusa Tenggara Timur (NTT) terus menjadi polemik pelik. Menurut pengacara senior sekaligus Ketua DPC PERADI Kabupaten Kupang, Herry FF Battileo, S.H.,M.H., akar persoalan seringkali bermula dari absennya bukti tertulis terkait alas hak atas tanah dan proses peralihan hak yang umumnya dilakukan secara lisan, terutama pada kasus hibah.

“Mayoritas masyarakat di NTT masih menggunakan lisan dalam melakukan peralihan hak, padahal secara hukum, hibah seharusnya dilakukan di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT),” kata Herry, yang juga menjabat sebagai Ketua Dewan Pimpinan Wilayah Media Online Indonesia (MOI) Provinsi NTT.

Ia mencontohkan banyak kasus hibah tanah yang diberikan untuk pembangunan gereja, sekolah, hingga masjid. Namun, beberapa dekade kemudian, keturunan pemberi hibah justru menuntut kembali tanah tersebut.

“Kondisi ini sangat memprihatinkan karena penerima hibah telah memiliki hak yang sah, tetapi masih diganggu oleh klaim dari anak atau cucu si penghibah yang telah meninggal dunia,” ujar Herry yang juga dikenal sebagai praktisi bela diri Kempo.

Okupasi dan Bukti Fisik Diakui Undang-Undang

Merujuk pada Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Pasal 24 ayat (2), dijelaskan bahwa penguasaan tanah selama 20 tahun secara terus menerus dengan itikad baik dapat dijadikan dasar pembuktian hak jika dokumen formal tidak tersedia. Namun, syaratnya adalah tidak ada keberatan dari masyarakat atau pihak terkait.

“Sayangnya, masih banyak kasus di mana keberatan dari pihak ketiga muncul tanpa batas waktu. Ini sangat mengganggu kepastian hukum,” ujar Herry. Ia menegaskan bahwa keberatan semacam ini seharusnya dibatasi maksimal 30 hari dan harus diikuti dengan gugatan hukum, merujuk pada Permen ATR/BPN No. 13 Tahun 2017.

Yurisprudensi dan Saksi Jadi Penguat Hak

Dalam praktiknya, menurut Herry, selain okupasi, keterangan saksi dan bukti pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga dapat memperkuat klaim penguasaan tanah, meskipun PBB bukanlah bukti hak kepemilikan.

Sejumlah yurisprudensi Mahkamah Agung juga memperkuat prinsip bahwa seseorang yang tidak lagi menguasai tanahnya dalam waktu lama dianggap telah melepaskan haknya. Sebaliknya, orang yang menguasai tanah secara terus menerus tanpa gangguan akan diakui sebagai pemilik.

Himbauan kepada Hakim: Gali Kebenaran Materiil

Herry menekankan pentingnya peran hakim untuk tidak hanya berpijak pada aspek formal-legal dalam mengadili perkara sengketa tanah, namun juga menggali kebenaran materiil sesuai dengan adat dan kebiasaan hukum masyarakat setempat.

“Jangan sampai proses sertifikasi tanah terhenti hanya karena ada keberatan sepihak tanpa dasar hukum yang kuat. Ini berbahaya bagi kepastian hukum dan pembangunan di daerah,” tutupnya.

(Ferdi Tanesib)

Next Post Previous Post